Sumba bagi penulis merupakan salah satu tempat terindah di Indonesia yang pernah penulis kunjungi, bisa dibilang penulis jatuh cinta pada kunjungan pertama di pulau yang termasuk ke dalam Provinsi Nusa Tenggara Timur ini. Pesona bukit-bukit yang menghampar luas, air terjun, pantai, dan desa adat di daerah ini menarik perhatian traveller untuk datang. Berikut cerita perjalanan penulis.
Hari kedua overland Sumba 30 Desember 2018, cerita di hari pertama dapat sobat baca di postingan : Mengenal Desa Adat Ratenggaro di Sumba. Setelah selesai sarapan pagi di hotel, penulis dan sembilan teman mengemasi barang bawaan karena pada sore harinya kami akan langsung menuju ke Sumba Timur dan menginap di sana.
Sebelum berangkat ke Sumba Timur, penulis menuju ke beberapa tempat wisata di Sumba Barat Daya seperti Pantai Mandorak, Danau Weekuri, Desa Praijing, dan jika sempat akan mampir sejenak ke Bukit Warinding.
Berbeda dengan hari pertama yang cerah, kali ini cuaca di hari kedua sedikit berawan. Bang Neil dan Bang Herman yang menjadi pemandu sekaligus driver sudah bersiap menunggu di parkiran hotel. tanpa berlama-lama mobil pun melaju ke destinasi pertama yaitu Pantai Mandorak yang terletak di kecamatan Kodi Utara, Sumba Barat Daya.
Pantai Mandorak
Untuk menuju ke lokasi Pantai Mandorak membutuhkan waktu sekitar satu jam perjalanan. Keunikan dari pantai ini adalah memiliki kedua sisi tebing yang saling berhadapan dan mengapit pantainya. Lalu pengunjung dapat naik ke atas tebing namun harus hati-hati saat melewati batu-batu karang. Bahaya kalau terpeleset dan mengenai batu karang yang tajam.
Dari atas tebing, terlihat ombak air laut yang terhempas dan mengenai bibir tebing. Jika ombak sedang tinggi, buncahannya bisa naik sampai ke atas oleh karena itu jangan terlalu dekat dengan bibir tebingnya. Di lokasi ini tidak disarankan untuk main air atau berenang, nah kalau mau berenang di lokasi selanjutnya yang penulis kunjungi yaitu Danau Weekuri.
Danau Weekuri
Desa Praijing
Bukit Warinding
Hari ketiga Overland Sumba, tanggal 31 Desember 2018. Bukit Warinding yang berkabut dan cuaca yang mendung di pagi hari mulai berubah menjadi panas terik ketika matahari naik sepenggala, jarum jam menunjuk di pukul sembilan pagi. Mobil yang dikendarai oleh Bang Herman kini melaju di atas jalanan beraspal yang mulus. Lalu lintas di jalan lengang sekali, jauh dari hiruk pikuk kepadatan lalu lintas seperti kota-kota besar.
Bukit Tanarara
Di saat perjalanan menuju Bukit Tanarara, penulis bingung melempar pandangan ke arah mana. Sebelah kanan, kiri, atau depan sama semua (sama-sama indah). Sepanjang mata memandang terlihat hamparan sabana berwarna hijau, diselingi beberapa pohon-pohon tinggi. Lalu terdapat kuda-kuda yang berkoloni sedang merunduk ke rerumputan. Juga ada gerombolan sapi-sapi tambun yang sedang berjalan pelan.
Lalu mobil yang dikendarai Bang Herman mulai berjalan pelan, Mobil pun berhenti ketika melihat bahu jalan sebelah kiri terdapat tanah lapang. “Kita berhenti dulu di sini ya, barangkali kalian mau foto sama kuda-kuda itu” Ujar Bang Herman.
Ketika didekati sudah bisa ditebak apa yang dilakukan oleh kawanan kuda liar itu? Menjauh ! hahaha. Wah berulang kali penulis mencoba mendekati namun tetap saja gagal, kawanan kuda itu kembali menjauh. Ya kurang lebih sama lah seperti PDKT dengan gebetan ya, ehhh :D. Alhasil penulis pun memotret dari kejauhan saja. Sekitar setengah jam di lokasi itu, Mobil pun kembali melanjutkan perjalanan dan tiba di Bukit Tanarara jam 10.
Bentang perbukitan yang meliuk dan bergelombang menjadi ciri khas lokasi ini. Penulis datang ketika musim penghujan, warna hijau dominan menyelimuti perbukitan. Terik matahari yang menyengat membuat keringat bercucuran. Namun tidak terasa karena penulis yang terlalu antusias melihat lanskap yang begitu indah ini. Banyak sekali sudut-sudut yang menarik untuk difoto.
Air Terjun Waimarang
Setelah Bukit Tanarara, destinasi berikutnya yang penulis kunjungi adalah Air Terjun Waimarang. Kurang lebih satu jam perjalanan dari Tanarara, cukup lama ya itupun tidak langsung sampai ke air terjun melainkan harus treking terlebih dahulu dari tempat parkir kendaraan.
Lama waktu treking sekitar setengah jam melewati jalur tanah yang menurun. Kamera penulis sengaja ditinggalkan di mobil, hanya membawa ponsel dan baju ganti. Air terjunnya tidak tinggi, namun yang menjadi daya tarik adalah kolam renang alami berbentuk melingkar yang dikelilingi oleh tebing-tebing bebatuan.
Kolamnya dalam, penulis tidak tau persisnya berapa meter. Disarankan memakai pelampung jika tidak pandai berenang. Penulis dan rombongan saat itu harus bergegas kembali ke tempat parkiran karena hujan mengguyur dengan derasnya. Wah jalur tanah pun menjadi licin sehingga penulis harus berhati-hati, tiba di atas langsung makan dan minum yang anget-anget (gorengan dan teh).
Pantai Walakiri
Pantai Walakiri menjadi persinggahan selanjutnya dan menjadi tempat penulis menyimak matahari tenggelam. Kalau mengulas tentang pantai ini pastinya terkenal dengan pohon-pohon bakau yang unik dengan latar langit jingga yang mempesona.
Namun sayang sekali penulis datang ke sini ketika air laut sedang pasang, pohon-pohon bakau tergenang air laut, sehingga penulis tidak bisa mendekati dan berfoto di pohon-pohon bakau yang berbentuk unik itu. Di lokasi pantai sedang ramai pengunjung, wajar karena sedang musim liburan akhir tahun.
Meskipun air laut sedang pasang, pemandangan sunset di pantai ini tetap menakjubkan. Langitnya berwarna kemerah-merahan dengan awan-awan tipis. Di sekitar Pantai Walakiri juga terdapat banyak warung dan pondok untuk bersantai. Lalu di sekitar pantai terdapat banyak deretan pohon kelapa.
Pukul tujuh malam, Penulis dan rombongan pun kembali menuju penginapan dan makan malam. Karena malam pergantian tahun baru, suasana di Kota Waingapu menjadi ramai. Meski begitu penulis tidak ikut menantikan detik-detik pergantian tahun, memilih untuk tertidur pulas :).